Halaman

Kamis, 09 Oktober 2014

Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Novel " Jalan Tak Ada Ujung "


Okee, kali ini saya akan nge-post tugas  Bahasa Indonesia tentang " Analisis Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Novel " tugas yang mengharuskan mata kita untuk jeli dalam melihat setiap kata yang tersirat tersurat dan ... okelah langsung saja ae ini dia ... #jengjengjeng

Judul : Jalan Tak Ada Ujung
Karya : Mochtar Lubis
Tahun Terbit : 2002
Isi halaman : 167

 

Unsur Intrinsik Novel “ Jalan Tak Ada Ujung “
Karya Mochtar Lubis

1.      Sinopsis
Guru Isa adalah seorang guru sekolah di Tanah Abang yang harus hidup dalam banyak cobaan kehidupan. Kehidupan keluarganya yang sederhana bersama Fatimah istrinya dan Salim anak yang dipungutnya bersama Fatimah. Kehidupan bertahan hidup dari gempuran serdadu – serdadu Nica yang kerap kali merubah hari – hari tenang di kampung menjadi perasaan was – was untuk sibuk menyelamatkan diri.
Guru Isa merasa takut dan jijik dalam hatinya saat melihat serdadu yang kasar, kejam, tak berperikemanusiaan menggeledah rumah – rumah warga kampung. Mereka ingin mengambil beberapa orang untuk dibawa ke markas mereka, tapi … mengapa harus ada yang mati saat mereka hanya ingin mengambil orang ? Orang – orang yang berlari saat ada siap – siapan langsung ditembak membabi buta.
Di kampung Kebon Sirih dimana Guru Isa tinggal, mengadakan pertemuan untuk Revolusi Kemerdekaan yang diketuai oleh Hazil. Dia pemuda yang berani, pintar, dan yang paling bersemangat untuk menggerakan para warga agar mengikuti perjuangannya. Para pemuda yang berjaga diluar bersenjata golok dan bambu runcing, berpikir bahwa setiap saat musuh akan menyerbu kapan saja, dan semua orang dalam rapat telah bersumpah berani mati dan berkorban hanya untuk Kemerdekaan. Kemudian Guru Isa terpilih menjadi kurir pengantar senjata dan surat – surat dalam kota Jakarta. Guru Isa takut dan terkejut akan bagaimana dia nanti sebagai anggota penting dalam organisasinya. Dia mencoba menolak, namun desakan – desakan dari segala pihak membuatnya merasa tenggelam dalam takutnya.
Hazil, Guru Isa, dan Rakhmat teman Hazil yang juga pemuda berani dan haus akan kemerdekaan Indonesia. Mereka berencana untuk mengobrak – abrikkan serdadu – serdadu Belanda yang akan keluar dari bioskop, di Kramatplein. Mereka telah membawa granat tangan  dan akan melemparnya bersama – sama, kemudian lari meninggalkan jejak dari tempat, itulah rencana yang mereka rencanakan. Selama ini mereka hanya bersembunyi saat ada serdadu – serdadu menggeledah rumah, hanya diam tak berbuat apa – apa, hanya rencana – rencana saja yang mereka bicarakan tak ada tindakan nyata. Saat inilah yang mereka akhirnya sadar untuk melakukannya.
Hazil dan Rakhmat sebagai pelempar granat tangan, sedang Guru Isa berada di luar restoran sebagai pengawas untuk melihat apa yang terjadi setelah mereka melemparkan granat itu. Bunyi ledakan pertama datang dengan tidak disangka – sangkanya. Disusul ledakan kedua, yang telah menimbulkan kacau balau saat orang – orang keluar dari bioskop. Orang menjerit, melolong, berlari kemana – mana, serdadu menembak sana sini dan bunyi pekik dan jerit orang. Hazil dan yang lain langsung kabur untuk meninggalkan jejak pengeboman yang mereka lakukan.
Setelah bubar, mereka berkumpul di balok tembok rumah tak dikenal. Mereka membicarakan tentang kejadian barusan, dan ternyata yang hanya dua orang yang tergeletak dan dibawa oleh ambulans dan banyak orang luka – luka. Rakhmat tercengang. Akhirnya mereka memutuskan  untuk pulang dan mungkin untuk waktu yang lama tidak ada rapat atau perkumpulan lagi.
Setelah seminggu berlalu, bunyi berita Koran menuturkan “Seorang dari pelempar granat tangan tertangkap”. Hal itu mengejutkannya, siapa yang tertangkap ? Hazil ? Ataukah Rakhmat ? Guru Isa takut, terbayang di pikirannya bahwa sebentar lagi dia juga akan tertangkap. Tiga hari berlalu, dan polisi mendatangi rumah Guru Isa dan ingin membawa Guru Isa ke kantor. Tetangga – tetangganya memandang Guru Isa dan mata mereka mengikuti perginya Guru Isa, tak satupun yang dapat berkata.
Sesampainya di kantor, Guru Isa dimasukkan  dalam kamar kecil sendirian. Hingga dia dipindahkan ke kamar lain guna melakukan intrograsi padanya. Dia ditanya ini itu, diminta untuk mengaku karena poilisi telah tahu semuanya, namun Guru Isa takut dan ragu untuk mengakui apa yang telah dilakukannya dan kemudian ia pingsan dengan sendirinya. Saat ia tersadar dalam kamar, ia mendengar suara yang ia kenal. Hazil. Hazil disiksa oleh polisi – polisi, dan Hazil menangis terisak – isak dia berpikir bahwa ia bersalah, ia berkhianat, ia tidak tahan siksaan mereka, ia ingin mati sekarang.
Pintu terbuka dan kapten serta dua orang polisi milter telah datang. Guru Isa ditanyai ini itu lagi, dan tetap Guru Isa menjadi panik dan takut. Polisi akhirnya tidak sabar akan tidak maunya mengaku Guru Isa, dan menendang Guru Isa tepat di rongga dadanya, seakan tulang rusuknya telah remuk dan disusul lagi tendangan kedua. Hazil meminta kepada Guru Isa untuk mengaku, namun Guru Isa masih belum bisa berkata dan dadanya masih terasa amat sakit. Polisi itu datang malam esoknya dan esoknya lagi dengan membawa ancaman dan penuh ketakutan, namun selamanya Guru Isa tidak akan mengaku.
Setelah berulang kali mereka disiksa, Guru Isa sadar bahwa Hazil sudah tiada lagi bedaya dan Guru Isa sebaliknya, ia merasa telah bangkit, ia sudah tiada lagi merasa takut yang dideranya selama menjadi anggota revolusi. Dia telah damai dengan takutnya. Telah belajar bagaimana harus hidup dengan takutnya.
Di ujung kamar, Hazil tidur mengerang dengan mimpi – mimpi ketakutannya. Dan saat Guru Isa mendengar derap langkah kaki sepatu berat ke kamar mereka, Guru Isa merasa damai dengan takutnya yang timbul. Dia tahu teror mereka tidak akan bisa menyentuhnya lagi, teror yang dialaminya saat merasa takut akan kegiatan organisasi mereka yang sembunyi – sembunyi melawan serdau – serdadu yang berujung dengan ketidak pastian akan kemerdekaan yang mereka impikan. Guru Isa telah bebas.

2.      Tema
Seorang Guru sekolah yang merasa takut akan kenyataan hidupnya yang harus berjuang saat masa revolusi pasca kemerdekaan.

3.      Alur
·         Perkenalan         : Ketika tembakan pertama di Gang Jaksa itu memecah kesunyian pagi Guru Isa … (halaman 8, paragraf 2)
·         Pertikaian            : Rasa jijik dan takut memuncak dalam hati Isa melihat tangan serdadu yang kasar … (halaman 12, paragraf 1)
·         Konflik                  : … ketika dia terpilih menjadi kurir – pengantar – senjata dan surat – surat di dalam kota Jakarta. (halaman 39, paragraf 2)
·         Klimaks                 : Mereka akan melemparkan granat tangan itu bersama – sama, dan kemudian lari. Melemparkan granat ke tengah – tengah serdadu – serdadu Belanda yang berdesak – desak keluar dari bioskop. (halaman 129, paragraf 4)
·         Peleraian             : Hazil berkata kepadanya (Isa) “Isa, mengakulah engkau, mereka akan datang kembali.“ (halaman 161, paragraf 3)
·         Akhir Cerita        : Tetapi bersama dengan itu dia tahu pula, bahwa baginya jalan baru mulai. (halaman 164, paragraf 4)

4.      Setting
·         Waktu
1.       Pagi hari : “… memecah kesunyian pagi Guru Isa …“ (halaman 8, paragraf 3)
2.       Senja : “Hujan gerimis menambah senja lekas menggelap.“ (halaman 1, paragraf 1)
3.       Malam hari : “Malam itu hujan gerimis …“ (halaman 54, paragraf 1)
·         Tempat
1.       Gang Jaksa : “… bermain – main di jalan Gang Jaksa.” (halaman 2, paragraf 1)
2.       Gang Sirih Wetan : “dari dalam Gang Sirih Wetan “ (halaman 2, paragraf 2)
3.       Warung P. Damrah : “Di warung Pak Damrah …“ (halaman 3, paragraph 1)
4.       Kebon Sirih : “… dari arah Kebon Sirih …“ (halaman 5, paragraf 1 dari bawah)
5.       Asam Lama : “Jalan Asam Lama itu sepi .“ (halaman 8, paragraf 4)
6.       Sekolah : “ Ketika dia tiba di rumah sekolah …“ (halaman 17, paragraf 3)
7.       Rumah Mr. Kamaruddin : “… di beranda belakang rumahnya …“ (halaman 18, paragraf 4)
8.       Kamar kerja Guru Isa : “…dan Guru Isa bekerja di kamar kerjanya.” (halaman 54, paragraf 1)
9.       Kamar mandi : “Di kamar mandi dia bermain – main dengan Salim kecil.” (halaman 65, paragraf 2)
10.   Pabrik Limun : “… tiba di depan pabrik limun.“ (halaman 79 baris ke - 2)
11.   Manggarai : “ … membawa empat peti granat tangan dan peluru ke Manggarai.” (halaman 93, paragraf 3 dari bawah)
12.   Karawang : “… di seluruh daerah karawang ini.” (halaman 96, paragraf 1 dari bawah)
13.   Pabrik Nimeff : “… di depan pabrik Nimeff.” (halaman 102, paragraf 1)
14.   Rumah Tuan Hamidy : “Di depan rumah Tuan Hamidy .” (halaman 105, paragraf 5)
15.   Kramatplein : “ Di Kramatplein amat ramainya.” (halaman 128, paragraf 1)
16.   Tangsi polisi militer : “ Dia dimasukkan di kamar kecil di tangsi polisi militer di Laan Trivelli.” (halaman 155, paragraf 1)




·         Suasana
1.       Menegangkan           : “Astagfirullah!” Isa berseru dalam hatinya terkejut dan ngeri ketakutan. Sekilas terbayang dalam kepalanya dia ditembak mati sekarang. (halaman 11, paragraf 3)
2.       Menyedihkan            : Perempuan Tionghoa itu mengerang-erang menangis. Tangis terkejut dan ketakutan. Campuran perasaan – perasaan melihat suaminya berbaring berlumuran darah dan rasa takut hatinya sendiri.
(halaman 13, paragraf 4)
3.       Senang                         : Guru Isa menahan rasa senangnya, mendengar ini. Dia senang dia tidak perlu pegang uang organisasi gelap mereka.
(halaman 108, paragraf 1)
4.       Menyesal                    : Dia merasa menyesal selalu berkelahi dengan Hazil belakangan ini. (halaman 50, paragraf 2)

5.      Tokoh dan Penokohan
·         Guru Isa
1.       Penakut : “Tetapi dalam hatinya sendiri dia takut, bahwa keputusan yang akan diambil, dia sendiri tidak bisa hadapi dan terima.” (halaman 59, paragraf 3)
2.       Tidak menyukai perkelahian : “saya bukan orang berkelahi, bisiknya kembali …
(halaman 130, paragraph 3)
3.       Perasa : “ Sampai bisa niat mencuri masuk ke dalam kepalaku,” pikirnya, malu pada dirinya sendiri. (halaman 24, paragraf 1)

·         Hazil
1.       Pembangkang : “Ha, rupanya pistol itu masih belum juga engkau buang ? Bukankah Ayah suruh seminggu yang lalu ? Anak kepala batu! Engkau mau mati?” (halaman 20, paragraf 1)
2.       Bertekad kuat : “Jangan Ayah! Kita perlu senjata untuk kemerdekaan.”
(halaman 20, paragraf 3)
3.       Pandai : “Jika kita angkat terang – terang, siang – siang, maka tidak seorang juga serdadu Inggris yang akan curiga kita membawa mesiu,” tulis Hazil dalam suratnya. (halaman 72, paragraf 2 dari bawah)
·         Fatimah
1.       Pandai menahan diri :  Barangkali memang perempuan lebih dapat menahan diri daripada laki – laki dalam keadaan serupa ini, atau pendidikannya menahannya.
(halaman 62, paragraf )
2.       Perhatian : “Malariamu lagi barangkali,” kata Fatimah. “Minumlah pel. Masih ada di lemari.” (halaman 110, paragraf 2 dari bawah)
3.       Ingin dicintai : Dia adalah seorang perempuan yang seluruh tubuhnya dan jiwanya memekik minta dikuasai dan direbut. (halaman 63, baris pertama)
·         Rakhmat
1.       Berani : Rakhmat sekarang telah bisa berkawan dengan kekerasan. Dia paling berani … (halaman 97, paragraf 3)


·         Tuan Hamidy
1.       Dermawan : “Dalam perjuangan kita mesti bantu – membantu bukan? Kalau beras lepas saya juga mau sumbangkan … “ (halaman 67, paragraf 4)
·         Mr. Kamaruddin
1.       Tempramental : Dia baru saja marah – marah pada babu, karena kopinya tiap pagi diberi gula banyak – banyak. (halaman 18, paragraf 4)
2.       Penyayang : … tersembunyi perasaan yang lebih besar dari kemarahan. Perasaan kesayangan seorang ayah pada anak … (halaman 20, paragraf 1 dari bawah)
·         Serdadu – serdadu atau Penjajah
1.       Tidak berperikemanusiaan : Menggeledah dengan kasar sekali, dan tangannya terlalu lama berhenti di dada perempuan itu. (halaman 12, paragraf 1)

6.      Sudut Pandang
Sudut pandang menggunakan sudut pandang orang ketiga, karena pengarang banyak menggunakan nama orang dan kata ganti Dia .

7.      Gaya Bahasa
·         Personifikasi : Dan lari dari ancaman yang telah lama memeluk seluruh kota.
(halaman 1, paragraf 1)
·         Hiperbola : dan cahaya kilat memancar – mancar. (halaman 1, paragraf 1)
·         Simbolik : Kanak – kanak itu berlompatan seperti monyet turun ke jalan.
(halaman 3, paragraf 2)
·         Asosiasi atau Simile : api yang membakar cinta pada tanah airnya, hebat seperti hembusan taufan. (halaman 33, paragraf 2 dari bawah)
·         Pleonasme : … terhempas ke bawah jauh – jauh. (halaman 43, paragraf 4)
·         Repetisi : Hazil yang gila. Rencana gila, Markas di luar kota yang gila?
(halaman 131, paragraf 1)

8.      Amanat
·         Kita harus selalu siap sedia melawan rasa takut untuk mendapatkan kemerdekaan.
·         Janganlah terlalu banyak memendam perasaan takut, itu akan menyebabkan kita hanya menerima kekalahan yang bukan kita inginkan dari apa yang ingin kita menangkan.
·         Perjuangan dalam bentuk apapun dapat membentuk kepribadian seseorang menjadi lebih baik.
·         Kita akan jatuh dalam ketakutan yang hebat bila kita tidak mengubah pola pikir kita akan ketidak mampuan menghadapi cobaan.
·         Menghadapi kenyataan dan ketakutan yang berlebih akan membuat mental seseorang menjadi lebih kuat dan telah belajar bagaimana harus hidup dengan rasa takut
·         Kita akan bisa menguasai diri sendiri, bila kita telah berdamai dengan rasa takut.
·         Kebahagiaan manusia adalah dalam perkembangan orang seseorang yang sempurna dan harmonis dengan manusia lain.

Unsur Ekstrinsik

1.      Biografi Penulis

Mochtar Lubis – Pengarang ternama ini dilahirkan tanggal 7 Maret 1922 di Padang. Sejak zaman Jepang ia telah aktif dalam lapangan penerangan. Ia turut mendirikan kantor berita ’Antara’, kemudian mendirikan dan memimpin harian Indonesia Raya yang telah dilarang terbit. Ia mendirikan majalah sastra Horizon bersama kawan – kawannya. Pada pemerintaha rezim Soekarno, ia dijebloskan ke dalam penjara hampir Sembilan tahun lamanya dan baru dibebaskan pada tahun 1966.
                Selain sebagai wartawan ia dikenal sebagai sastrawan. Cerita – cerita pendeknya dikumpulkan dalam buku Si Jamal (1950) dan Perempuan (1956). Sedangkan romannya yang telah terbit: Tidak Ada Esok (1950), Jalan Tak Ada Ujung (1950) yang mendapat hadiah sastra dari BMKN, Senja di Jakarta yang mula – mula terbit dalam bahasa Inggris dengan judul Twilight in Jakarta (1963) dan terbit dalam bahasa Melayu tahun 1964. Selain itu, romannya yang mendapat sambutan luas dengan judul Harimau! Harimau! (Pustaka Jaya 1975) telah mendapat hadiah dari Yayasan Buku Utama sebagai buku terbaik tahun 1975. Sedangkan Maut dan Cinta (Pustaka Jaya 1971) mendapat hadiah Yayasan Jaya Raya.
                Kadang – kadang ia pun menulis esai dengan nama samara Savitridan juga menterjemahkan beberapa karya sastra asing seperti Tiga Cerita dari Negeri Dollar (1950), Kisah – Kisah dari Eropa (1952)
                Pada tahun 1950 ia mendapat hadiah atas laporannya tentang Perang Korea dan tahun 1966 mendapat hadiah Magsaysay untuk karya – karya jurnalistiknya.

2.       Nilai Sosial
·         Rasa tolong – menolong, gotong royong, dan rasa kebersamaan yang timbul pada masa – masa sulit yaitu pada masa perjuangan kemerdekaan untuk mengusir penjajah dari tanah air yang sewenang – wenang terhadap penduduk pribumi yang menentang penjajah atau serdadu – serdadu.
·         Takut tentu boleh untuk siapa saja, namun hadapilah ketakutan itu suatu saat nanti, kelak ia akan membuatmu menjadi lebih kuat dan pribadi yang lebih baik.

3 komentar: