Okee, kali ini saya akan nge-post tugas Bahasa Indonesia tentang " Analisis Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Novel " tugas yang mengharuskan mata kita untuk jeli dalam melihat setiap kata yang
Judul : Jalan Tak Ada Ujung
Karya : Mochtar Lubis
Tahun Terbit : 2002
Isi halaman : 167
Unsur
Intrinsik Novel “ Jalan Tak Ada Ujung “
Karya Mochtar Lubis
Karya Mochtar Lubis
1. Sinopsis
Guru
Isa adalah seorang guru sekolah di Tanah Abang yang harus hidup dalam banyak
cobaan kehidupan. Kehidupan keluarganya yang sederhana bersama Fatimah istrinya
dan Salim anak yang dipungutnya bersama Fatimah. Kehidupan bertahan hidup dari
gempuran serdadu – serdadu Nica yang kerap kali merubah hari – hari tenang di
kampung menjadi perasaan was – was untuk sibuk menyelamatkan diri.
Guru
Isa merasa takut dan jijik dalam hatinya saat melihat serdadu yang kasar,
kejam, tak berperikemanusiaan menggeledah rumah – rumah warga kampung. Mereka
ingin mengambil beberapa orang untuk dibawa ke markas mereka, tapi … mengapa
harus ada yang mati saat mereka hanya ingin mengambil orang ? Orang – orang
yang berlari saat ada siap – siapan langsung ditembak membabi buta.
Di
kampung Kebon Sirih dimana Guru Isa tinggal, mengadakan pertemuan untuk
Revolusi Kemerdekaan yang diketuai oleh Hazil. Dia pemuda yang berani, pintar,
dan yang paling bersemangat untuk menggerakan para warga agar mengikuti
perjuangannya. Para pemuda yang berjaga diluar bersenjata golok dan bambu
runcing, berpikir bahwa setiap saat musuh akan menyerbu kapan saja, dan semua
orang dalam rapat telah bersumpah berani mati dan berkorban hanya untuk
Kemerdekaan. Kemudian Guru Isa terpilih menjadi kurir pengantar senjata dan
surat – surat dalam kota Jakarta. Guru Isa takut dan terkejut akan bagaimana
dia nanti sebagai anggota penting dalam organisasinya. Dia mencoba menolak,
namun desakan – desakan dari segala pihak membuatnya merasa tenggelam dalam
takutnya.
Hazil,
Guru Isa, dan Rakhmat teman Hazil yang juga pemuda berani dan haus akan
kemerdekaan Indonesia. Mereka berencana untuk mengobrak – abrikkan serdadu –
serdadu Belanda yang akan keluar dari bioskop, di Kramatplein. Mereka telah
membawa granat tangan dan akan melemparnya
bersama – sama, kemudian lari meninggalkan jejak dari tempat, itulah rencana
yang mereka rencanakan. Selama ini mereka hanya bersembunyi saat ada serdadu –
serdadu menggeledah rumah, hanya diam tak berbuat apa – apa, hanya rencana –
rencana saja yang mereka bicarakan tak ada tindakan nyata. Saat inilah yang
mereka akhirnya sadar untuk melakukannya.
Hazil
dan Rakhmat sebagai pelempar granat tangan, sedang Guru Isa berada di luar
restoran sebagai pengawas untuk melihat apa yang terjadi setelah mereka
melemparkan granat itu. Bunyi ledakan pertama datang dengan tidak disangka –
sangkanya. Disusul ledakan kedua, yang telah menimbulkan kacau balau saat orang
– orang keluar dari bioskop. Orang menjerit, melolong, berlari kemana – mana,
serdadu menembak sana sini dan bunyi pekik dan jerit orang. Hazil dan yang lain
langsung kabur untuk meninggalkan jejak pengeboman yang mereka lakukan.
Setelah
bubar, mereka berkumpul di balok tembok rumah tak dikenal. Mereka membicarakan
tentang kejadian barusan, dan ternyata yang hanya dua orang yang tergeletak dan
dibawa oleh ambulans dan banyak orang luka – luka. Rakhmat tercengang. Akhirnya
mereka memutuskan untuk pulang dan
mungkin untuk waktu yang lama tidak ada rapat atau perkumpulan lagi.
Setelah
seminggu berlalu, bunyi berita Koran menuturkan “Seorang dari pelempar granat tangan tertangkap”. Hal itu
mengejutkannya, siapa yang tertangkap ? Hazil ? Ataukah Rakhmat ? Guru Isa
takut, terbayang di pikirannya bahwa sebentar lagi dia juga akan tertangkap.
Tiga hari berlalu, dan polisi mendatangi rumah Guru Isa dan ingin membawa Guru
Isa ke kantor. Tetangga – tetangganya memandang Guru Isa dan mata mereka
mengikuti perginya Guru Isa, tak satupun yang dapat berkata.
Sesampainya
di kantor, Guru Isa dimasukkan dalam
kamar kecil sendirian. Hingga dia dipindahkan ke kamar lain guna melakukan
intrograsi padanya. Dia ditanya ini itu, diminta untuk mengaku karena poilisi
telah tahu semuanya, namun Guru Isa takut dan ragu untuk mengakui apa yang
telah dilakukannya dan kemudian ia pingsan dengan sendirinya. Saat ia tersadar
dalam kamar, ia mendengar suara yang ia kenal. Hazil. Hazil disiksa oleh polisi
– polisi, dan Hazil menangis terisak – isak dia berpikir bahwa ia bersalah, ia
berkhianat, ia tidak tahan siksaan mereka, ia ingin mati sekarang.
Pintu
terbuka dan kapten serta dua orang polisi milter telah datang. Guru Isa
ditanyai ini itu lagi, dan tetap Guru Isa menjadi panik dan takut. Polisi
akhirnya tidak sabar akan tidak maunya mengaku Guru Isa, dan menendang Guru Isa
tepat di rongga dadanya, seakan tulang rusuknya telah remuk dan disusul lagi
tendangan kedua. Hazil meminta kepada Guru Isa untuk mengaku, namun Guru Isa
masih belum bisa berkata dan dadanya masih terasa amat sakit. Polisi itu datang
malam esoknya dan esoknya lagi dengan membawa ancaman dan penuh ketakutan,
namun selamanya Guru Isa tidak akan mengaku.
Setelah
berulang kali mereka disiksa, Guru Isa sadar bahwa Hazil sudah tiada lagi
bedaya dan Guru Isa sebaliknya, ia merasa telah bangkit, ia sudah tiada lagi
merasa takut yang dideranya selama menjadi anggota revolusi. Dia telah damai
dengan takutnya. Telah belajar bagaimana harus hidup dengan takutnya.
Di
ujung kamar, Hazil tidur mengerang dengan mimpi – mimpi ketakutannya. Dan saat
Guru Isa mendengar derap langkah kaki sepatu berat ke kamar mereka, Guru Isa
merasa damai dengan takutnya yang timbul. Dia tahu teror mereka tidak akan bisa
menyentuhnya lagi, teror yang dialaminya saat merasa takut akan kegiatan
organisasi mereka yang sembunyi – sembunyi melawan serdau – serdadu yang
berujung dengan ketidak pastian akan kemerdekaan yang mereka impikan. Guru Isa
telah bebas.
2. Tema
Seorang
Guru sekolah yang merasa takut akan kenyataan hidupnya yang harus berjuang saat
masa revolusi pasca kemerdekaan.
3. Alur
·
Perkenalan :
Ketika tembakan pertama di Gang Jaksa itu memecah kesunyian pagi Guru Isa … (halaman
8, paragraf 2)
·
Pertikaian :
Rasa jijik dan takut memuncak dalam hati Isa melihat tangan serdadu yang kasar
… (halaman 12, paragraf 1)
·
Konflik :
… ketika dia terpilih menjadi kurir – pengantar – senjata dan surat – surat di
dalam kota Jakarta. (halaman 39, paragraf 2)
·
Klimaks :
Mereka akan melemparkan granat tangan itu bersama – sama, dan kemudian lari.
Melemparkan granat ke tengah – tengah serdadu – serdadu Belanda yang berdesak –
desak keluar dari bioskop. (halaman 129, paragraf 4)
·
Peleraian :
Hazil berkata kepadanya (Isa) “Isa, mengakulah engkau, mereka akan datang kembali.“
(halaman 161, paragraf 3)
·
Akhir Cerita :
Tetapi bersama dengan itu dia tahu pula, bahwa baginya jalan baru mulai.
(halaman 164, paragraf 4)
4. Setting
·
Waktu
1. Pagi
hari : “… memecah kesunyian pagi Guru Isa …“ (halaman 8, paragraf 3)
2. Senja
: “Hujan gerimis menambah senja lekas menggelap.“ (halaman 1, paragraf 1)
3. Malam
hari : “Malam itu hujan gerimis …“ (halaman 54, paragraf 1)
·
Tempat
1. Gang
Jaksa : “… bermain – main di jalan Gang Jaksa.” (halaman 2, paragraf 1)
2. Gang
Sirih Wetan : “dari dalam Gang Sirih Wetan “ (halaman 2, paragraf 2)
3. Warung
P. Damrah : “Di warung Pak Damrah …“ (halaman 3, paragraph 1)
4. Kebon
Sirih : “… dari arah Kebon Sirih …“ (halaman 5, paragraf 1 dari bawah)
5. Asam
Lama : “Jalan Asam Lama itu sepi .“ (halaman 8, paragraf 4)
6. Sekolah
: “ Ketika dia tiba di rumah sekolah …“ (halaman 17, paragraf 3)
7. Rumah
Mr. Kamaruddin : “… di beranda belakang rumahnya …“ (halaman 18, paragraf 4)
8. Kamar
kerja Guru Isa : “…dan Guru Isa bekerja di kamar kerjanya.” (halaman 54,
paragraf 1)
9. Kamar
mandi : “Di kamar mandi dia bermain – main dengan Salim kecil.” (halaman 65,
paragraf 2)
10. Pabrik
Limun : “… tiba di depan pabrik limun.“ (halaman 79 baris ke - 2)
11. Manggarai
: “ … membawa empat peti granat tangan dan peluru ke Manggarai.” (halaman 93,
paragraf 3 dari bawah)
12. Karawang
: “… di seluruh daerah karawang ini.” (halaman 96, paragraf 1 dari bawah)
13. Pabrik
Nimeff : “… di depan pabrik Nimeff.” (halaman 102, paragraf 1)
14. Rumah
Tuan Hamidy : “Di depan rumah Tuan Hamidy .” (halaman 105, paragraf 5)
15. Kramatplein
: “ Di Kramatplein amat ramainya.” (halaman 128, paragraf 1)
16. Tangsi
polisi militer : “ Dia dimasukkan di kamar kecil di tangsi polisi militer di Laan
Trivelli.” (halaman 155, paragraf 1)
·
Suasana
1. Menegangkan : “Astagfirullah!” Isa berseru dalam
hatinya terkejut dan ngeri ketakutan. Sekilas terbayang dalam kepalanya dia
ditembak mati sekarang. (halaman 11, paragraf 3)
2. Menyedihkan : Perempuan Tionghoa itu
mengerang-erang menangis. Tangis terkejut dan ketakutan. Campuran perasaan –
perasaan melihat suaminya berbaring berlumuran darah dan rasa takut hatinya
sendiri.
(halaman 13, paragraf 4)
(halaman 13, paragraf 4)
3. Senang : Guru Isa menahan rasa
senangnya, mendengar ini. Dia senang dia tidak perlu pegang uang organisasi
gelap mereka.
(halaman 108, paragraf 1)
(halaman 108, paragraf 1)
4. Menyesal : Dia merasa menyesal selalu
berkelahi dengan Hazil belakangan ini. (halaman 50, paragraf 2)
5. Tokoh dan Penokohan
·
Guru Isa
1. Penakut
: “Tetapi dalam hatinya
sendiri dia takut, bahwa keputusan yang akan diambil, dia sendiri tidak bisa
hadapi dan terima.”
(halaman 59, paragraf 3)
2. Tidak
menyukai perkelahian : “saya bukan orang berkelahi, bisiknya kembali …
(halaman 130, paragraph 3)
(halaman 130, paragraph 3)
3. Perasa
: “ Sampai bisa niat mencuri masuk ke dalam kepalaku,” pikirnya, malu pada dirinya
sendiri. (halaman 24, paragraf 1)
·
Hazil
1. Pembangkang
: “Ha, rupanya pistol itu masih belum juga engkau buang ? Bukankah Ayah suruh
seminggu yang lalu ? Anak kepala batu! Engkau mau mati?” (halaman 20, paragraf
1)
2. Bertekad
kuat : “Jangan Ayah! Kita perlu senjata untuk kemerdekaan.”
(halaman 20, paragraf 3)
(halaman 20, paragraf 3)
3. Pandai
: “Jika kita angkat terang – terang, siang – siang, maka tidak seorang juga
serdadu Inggris yang akan curiga kita membawa mesiu,” tulis Hazil dalam
suratnya. (halaman 72, paragraf 2 dari bawah)
·
Fatimah
1. Pandai
menahan diri : Barangkali memang
perempuan lebih dapat menahan diri daripada laki – laki dalam keadaan serupa
ini, atau pendidikannya menahannya.
(halaman 62, paragraf )
(halaman 62, paragraf )
2. Perhatian
: “Malariamu lagi barangkali,” kata Fatimah. “Minumlah pel. Masih ada di
lemari.” (halaman 110, paragraf 2 dari bawah)
3. Ingin
dicintai : Dia adalah seorang perempuan yang seluruh tubuhnya dan jiwanya
memekik minta dikuasai dan direbut. (halaman 63, baris pertama)
·
Rakhmat
1. Berani
: Rakhmat sekarang telah bisa berkawan dengan kekerasan. Dia paling berani … (halaman
97, paragraf 3)
·
Tuan Hamidy
1. Dermawan
: “Dalam perjuangan kita mesti bantu – membantu bukan? Kalau beras lepas saya
juga mau sumbangkan … “ (halaman 67, paragraf 4)
·
Mr. Kamaruddin
1. Tempramental
: Dia baru saja marah – marah pada babu, karena kopinya tiap pagi diberi gula
banyak – banyak. (halaman 18, paragraf 4)
2. Penyayang
: … tersembunyi perasaan yang lebih besar dari kemarahan. Perasaan kesayangan
seorang ayah pada anak … (halaman 20, paragraf 1 dari bawah)
·
Serdadu – serdadu atau Penjajah
1. Tidak
berperikemanusiaan : Menggeledah dengan kasar sekali, dan tangannya terlalu
lama berhenti di dada perempuan itu. (halaman 12, paragraf 1)
6. Sudut Pandang
Sudut
pandang menggunakan sudut pandang orang ketiga, karena pengarang banyak
menggunakan nama orang dan kata ganti Dia .
7. Gaya Bahasa
·
Personifikasi : Dan lari dari ancaman yang telah
lama memeluk seluruh kota.
(halaman 1, paragraf 1)
(halaman 1, paragraf 1)
·
Hiperbola : dan cahaya kilat memancar – mancar.
(halaman 1, paragraf 1)
·
Simbolik : Kanak – kanak itu berlompatan seperti
monyet turun ke jalan.
(halaman 3, paragraf 2)
(halaman 3, paragraf 2)
·
Asosiasi atau Simile : api yang membakar cinta
pada tanah airnya, hebat seperti hembusan taufan. (halaman 33, paragraf 2 dari
bawah)
·
Pleonasme : … terhempas ke bawah jauh – jauh. (halaman
43, paragraf 4)
·
Repetisi : Hazil yang gila. Rencana gila, Markas
di luar kota yang gila?
(halaman 131, paragraf 1)
(halaman 131, paragraf 1)
8. Amanat
·
Kita harus selalu siap sedia melawan rasa takut
untuk mendapatkan kemerdekaan.
·
Janganlah terlalu banyak memendam perasaan
takut, itu akan menyebabkan kita hanya menerima kekalahan yang bukan kita
inginkan dari apa yang ingin kita menangkan.
·
Perjuangan dalam bentuk apapun dapat membentuk
kepribadian seseorang menjadi lebih baik.
·
Kita akan jatuh dalam ketakutan yang hebat bila
kita tidak mengubah pola pikir kita akan ketidak mampuan menghadapi cobaan.
·
Menghadapi kenyataan dan ketakutan yang berlebih
akan membuat mental seseorang menjadi lebih kuat dan telah belajar bagaimana
harus hidup dengan rasa takut
·
Kita akan bisa menguasai diri sendiri, bila kita
telah berdamai dengan rasa takut.
·
Kebahagiaan manusia adalah dalam perkembangan
orang seseorang yang sempurna dan harmonis dengan manusia lain.
Unsur
Ekstrinsik
1. Biografi Penulis
Mochtar Lubis – Pengarang ternama ini
dilahirkan tanggal 7 Maret 1922 di Padang. Sejak zaman Jepang ia telah aktif
dalam lapangan penerangan. Ia turut mendirikan kantor berita ’Antara’, kemudian
mendirikan dan memimpin harian Indonesia
Raya yang telah dilarang terbit. Ia mendirikan majalah sastra Horizon bersama kawan – kawannya. Pada
pemerintaha rezim Soekarno, ia dijebloskan ke dalam penjara hampir Sembilan
tahun lamanya dan baru dibebaskan pada tahun 1966.
Selain sebagai wartawan ia
dikenal sebagai sastrawan. Cerita – cerita pendeknya dikumpulkan dalam buku Si Jamal (1950) dan Perempuan (1956). Sedangkan romannya yang telah terbit: Tidak Ada Esok (1950), Jalan Tak Ada Ujung (1950) yang mendapat
hadiah sastra dari BMKN, Senja di Jakarta
yang mula – mula terbit dalam bahasa Inggris dengan judul Twilight in Jakarta (1963) dan terbit dalam bahasa Melayu tahun 1964.
Selain itu, romannya yang mendapat sambutan luas dengan judul Harimau! Harimau! (Pustaka Jaya 1975)
telah mendapat hadiah dari Yayasan Buku Utama sebagai buku terbaik tahun 1975.
Sedangkan Maut dan Cinta (Pustaka
Jaya 1971) mendapat hadiah Yayasan Jaya Raya.
Kadang – kadang ia pun menulis
esai dengan nama samara Savitridan juga menterjemahkan beberapa karya sastra
asing seperti Tiga Cerita dari Negeri
Dollar (1950), Kisah – Kisah dari
Eropa (1952)
Pada tahun 1950 ia mendapat
hadiah atas laporannya tentang Perang
Korea dan tahun 1966 mendapat hadiah Magsaysay untuk karya – karya
jurnalistiknya.
2. Nilai Sosial
·
Rasa tolong – menolong, gotong royong, dan rasa
kebersamaan yang timbul pada masa – masa sulit yaitu pada masa perjuangan
kemerdekaan untuk mengusir penjajah dari tanah air yang sewenang – wenang
terhadap penduduk pribumi yang menentang penjajah atau serdadu – serdadu.
·
Takut tentu boleh untuk siapa saja, namun
hadapilah ketakutan itu suatu saat nanti, kelak ia akan membuatmu menjadi lebih
kuat dan pribadi yang lebih baik.
makasih:)
BalasHapusMakasih bang
BalasHapusMakasih
BalasHapus